Sore itu sama seperti sore-sore lainnya, jempol cantik gue beradu dan bergesekan dengan layar smartphone yang alakadarnya. Membuka aplikasi media sosial dengan indah tanpa ada mention masuk
maupun pesan langsung apalagi pesanan makan. Sepi intinya. Saat asyik
turun-naik linimasa, ternyata ada yang menyolok perhatian gue, yaitu
bahasan tentang lirik pada lagu anak-anak, lagu Bintang Kecil tepatnya.
Bintang kecil, di langit yang biru
Amat banyak, menghias angkasa
Aku ingin, terbang dan menari
jauh tinggi, ke tempat kau berada
Lagu ini sebenarnya adalah termasuk yang menjadi favorit gue dulu, bahkan hingga sekarang. Ketertarikan gue terhadap dunia yang berbau perbintangan nggak bisa dipungkiri, mulai dari bintang kecil, bintang jatuh, bintang sepakbola sampai yang teranyar itu Bintang, temen komplek.
Sekilas, memang tak ada yang salah. Lagu Bintang Kecil ini sangat menggugah bagi gue dulu serta sempat berpikir kalo gue nanti bisa pegang bintang entah bintang mana yang bisa gue pegang berdasarkan bintang-bintang yang gue sebutkan tadi. Lambat laun gue mulai paham kenapa Sudjiwotejo sedikit mempermasalahkan lirik dari lagu ini, ya memang karena adanya kesebrangan persepsi didalamnya dan mungkin sedikit menganggu bagi yang terganggu.
Sekilas, memang tak ada yang salah. Lagu Bintang Kecil ini sangat menggugah bagi gue dulu serta sempat berpikir kalo gue nanti bisa pegang bintang entah bintang mana yang bisa gue pegang berdasarkan bintang-bintang yang gue sebutkan tadi. Lambat laun gue mulai paham kenapa Sudjiwotejo sedikit mempermasalahkan lirik dari lagu ini, ya memang karena adanya kesebrangan persepsi didalamnya dan mungkin sedikit menganggu bagi yang terganggu.
Bintang Kecil, di Langit yang Biru
BINTANG APA YANG ADA TENGAH HARI BOLONG COBA?!!! JAWAAAAAB! Men, lo bayangin aja, siang bolong gitu ada bintang? Emang lo bisa bedain mana bintang mana awan? Mana bintang mana bintang-bintangan? Mana bintang mana binatang? Mana bintang mana binatang-binatangan? Susah! Belum lagi kalo dalam keadaan indoor, jelas banget tingkat kesulitan lo bakalan nambah ke level yang sangat teramat maksimum! Yang ada sih diatas kepala lo muncul bintang-bintang.
Amat Banyak, Menghias Angkasa
Paradoks. Lirik pertama menyebutkan bintang kecil, artinya jumlah bintangnya itu tunggal. Sementara di lirik selanjutnya, kata-kata amat banyak seolah menepis anggapan pada lirik pertama. Kalo emang bintangnya amat banyak, lirik pertama mestinya diubah jadi bintang kecil-kecil atau bintang-bintang kecil. Setuju sampai sini?
Aku Ingin, Terbang dan Menari
Tak ada yang salah dari lirik bagian ketiga ini. Tapi, gue jadi menerawang jauh gimana kalo nantinya gue punya anak dan anak gue ngambek minta terbang? Jawab apa gue?
"Pah, aku mau terbang pah! Pokoknya aku gamau makan kalo nggak terbang!"
"......"
atau malah
"Mau kemana, nak?"
"Aku terbang dulu yah, Pah!"
*cium tangan*
*terus terbang*
"....."
Meski gue tau hingga tahun ini udah ada mbak-mbak yang nggak ada kerjaan melakukan hal tersebut, tapi gue nggak mau anak gue nantinya terbang dan menari.
Terbang dan Menari~ |
Jauh Tinggi, ke Tempat Kau Berada
Lagi, generasi muda ini dijejali kata-kata yang aneh. Hemat gue, penempatan kata tempat disini masih kurang pas. Keeterangan pendukungnya hanyalah kata jauh dan tinggi saja, jadi tempat apa yang jauh dan tinggi? Kalo gue tinggal di Depok, tempat yang jauh dan tinggi itu ada di Puncak, Puncak Margo City. Nah kalo gue orang Bali, tempat yang jauh dan tingginya ada di toko Gunung Agung. Relatif, Bro.
Oke.
Gue jadi mikir, "kenapa lagu anak-anak mengandung unsur yang cenderung keliru, ya?" pasalnya,
segala suplai yang di berikan kepada seorang anak terlebih pada usia keemasan (hingga sebelas tahun) adalah mutlak sesuatu yang
fundamental. Apa jadinya kalo pembeberan atas kesalahan malah dimulai
dari kecil? Aneh, yah.
Juga, banyak hal-hal pembiasaan bodoh yang sudah dirintis sejak kecil. Masalah ketika ada seorang anak mencoba belajar jalan, lalu jatuh. Siapa salah? "...haduh cup cup cup, anak manis, yang salah lantainya. Cup cup cup..."
Juga, banyak hal-hal pembiasaan bodoh yang sudah dirintis sejak kecil. Masalah ketika ada seorang anak mencoba belajar jalan, lalu jatuh. Siapa salah? "...haduh cup cup cup, anak manis, yang salah lantainya. Cup cup cup..."
Hingga pembiasaan-pembiasaan yang buruk ini cukup membekas dan membentuk sebuah kepribadian, bahkan celakanya tak sedikit dari mereka yang berlanjut hingga dewasa. Jadi main lempar tanggung jawab dan berusaha mencari kambing hitam atas segala sesuataunya aja gitu. Hih!
Sudah sewajarnya, pembiasaan atas segala yang ditimpakan sebagai masa lalu tak semuanya bisa dilanjutkan. Karena bukan membenarkan sesuatu yang biasa, tapi membiasakan sesuatu yang benar. Terakhir, mari kita revisi lagu anak-anak! Haha.
Cheers!
***
Rubrik mencermati ini menjadi suatu hal yang baru di blog gue, kedepannya pasti bakal gue kembangkan lagi tentunya dan yang paling penting dimohon kritik dan sarannya, ya! Gue doain yang silent reader bisa ngasih comment, haha. :))
Ikutan membaca, baru kali ini kepikir ttg penalaran ini :-)
BalasHapusWah didatangi sama travel blogger expert! :'))
BalasHapusIyah Mas Cum. Sama, itu juga baru kepikiran belakangan ini aja. Haha.
Tumbs up! Incredible thoughts, Pau! :D
BalasHapusMakasih, Riztan! :D Thumb-thumb deh. Haha.
BalasHapus