Pages - Menu

5/05/2014

Nasib Fantastic Four Kemudian



Sumber: Google

Sebagai seorang yang diambang ketidakjelasan (baca: berada pada masa transisi SMA menuju perguruan tinggi), mungkin hal yang menjadi momok sebagian besar kami adalah sebuah pertanyaan menjurus, menjurus kepada bagaimana menyikapinya.

Contoh: Mau lanjut kuliah dimana?

Ini model pertanyaannya ngga jauh beda sama bertanya berapakah gaji yang diminta ketika wawancara kerja, apalagi setelah disodori offering letter. Agak susah disikapi, kan? Mau minta gaji dengan jumlah besar, tapi pengalaman kerja belum ada. Mau minta gaji kecil, tapi harga kebutuhan pokok pada dasarnya selalu mengalami kenaikan. Dilematis!

Gue juga belakangan mulai disesaki hal-hal yang membingungkan lain dalam memilih bermacam pilihan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Oleh karena atas dasar antisipasi, gue pun mencoba ikut tes di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Yogyakarta. Ya, kemungkinan terburuk harus selalu ada dan disiapkan atasnya, kan?



Sebelum mengikuti ujian seleksi yang terdiri dari hanya tes potensi akademik dan bahasa inggris, gue harus melakukan validasi. Validasi yang banyak memakan waktu. Bayangin aja, validasi terjadwal dimulai pukul 08.00 gue dateng 08.15an itu gue dapet antrian nomer 58, dan ternyata loket validasi baru dibuka pukul 08.30. Gile.

Nah, karena hal yang biasa disebut menunggu ini, gue dapet temen senasib dari berbagai daerah. Kalo kata istilahnya bus jarak jauh, "Antar Kota Antar Propinsi". Azeg!

Difta, Tanu, Putra, dan Euis.

Difta, Seperti Anak Ibukota Lainnya

Difta ini berasal dari SMA 39 Jakarta. Pertama kita bertemu, kita saling mencuri celah, memahami situasi, memutar balikkan pandangan, hingga bertemu pada satu titik tertentu. Eaa. Namun sayang, Difta ini ganteng. Ya trus kenapa?

Model anak Jakarta yang ber-gadget dan dengan dandanan ala-ala AGJ, pergi ke Jogja diantar Bapak, menginap di hotel bintang empat, dan pergi menuju venue validasi menggunakkan taksi. Mewah abis. Mungkin, Difta ini kalo gue ajak makan di angkringan mintanya tenderloin steak dan strawberry float kali, ya? Enggak deng.

Namun, pribadinya ramah dan cenderung asik diajak bicara. Mungkin karena domisili kita ngga berjauhan jadi topik pembicaraannya nyambung-nyambung aja. 

Tanu, Seorang Penuh Keyakinan dari Purwokerto

Pertama liat sosoknya, agak serem gimana gitu. Namun, setelah tangan berjabat dan hati saling terikat.....ah sudahlah. Haha.

Di daerah asalnya hanya ada satu universitas, sekolahnya pun (kayaknya) ngga mengikuti SNMPTN untuk tahun ini. Mimpinya dimulai dengan mengendarai motor selama 5 jam dari Purwokerto-Jogja hingga numpang menginap dirumah temennya di Jogja untuk keperluan tidurnya. "Ya, saya cuma bisa berusaha aja mas, urusan diterima atau tidak ya belakangan..." dengan nada medok khasnya. Terang, gue tercengang dibuatnya.

Putera, Mungkin Putra Terbaik di Keluarganya

Temen gue yang satu ini asli sunda, Cisarua punya! Domisilinya ngga jauh dari perempatan gadog, perempatan yang kalo lo menuju Puncak via Jagorawi dan baru keluar dari tolnya. Iya, itu. Bercerita mengenai bagaimana sederhana hidup dan keluarganya yang ia sayangi.

Banyak beredar kabar bahwa sumbangan menjadi penentu masuk tidaknya kita dalam mengikuti seleksi perguruan tinggi label swasta. Putera, sebagai seorang yang hanya bisa dibilang cukup, mengerti betul bagaimana keadaan Ayah-Ibu dirumah. Baginya, jika ada cara yang lebih baik untuk meringankan beban kedua orang tuanya pasti akan ia lakukan.

Euis, Tak Berhenti Sampai Disitu

Sebenernya, kita belum sempet kenalan.Terus gue ngasal aja gitu namainnya Euis. Tahukan dia darimana? Iyah, Malang, Jawa Timur. SMAN 1 Batu tepatnya. Meski Euis ini berwajah oriental dan terlihat keturunan Chinese, toh pembicaraan yang kita jalin nyambung-nyambung aja kok sama gue yang notabene-nya golongan pribumi. Haha.

Semangat pantang meneyerah demi mengejar PTS ini sangat bergelora baginya, gimana enggak? Ternyata dia sengaja ronin buat ikut tes seleksi ini yang berarti dia udah lulus tahun lalu dari SMA. Ayahnya yang juga alumni PTS ini juga sedikit banyak berpengaruh kepada pilihannya. Gigihnya dalam mengejar suatu hal, membuat gue belajar banyak.

Satu lagi kesan yang gue dapet, senyumnya. :))

Eaa.

Haha.

Pengumumannya sik udah keluar, seperti yang gue alami sebelumnya, iya gue ngga (atau mungkin belum) lolos. Namun, selalu ada hikmah yang Tuhan Anugerahkan kepada hamba-Nya. Gue belajar bagaimana seorang yang hidup nyaman, terkadang harus keluar dari zona nyamanya seperti Difta. Melakukan hal dengan penuh keyakinan dan menegerjakannya dengan totalitas ala Tanu. Berbakti kepada kedua orang tua tanpa alasan bak Putera dan gigih dalam berjuang memenuhi ambisi layaknya Euis.

Semoga kalian mendapatkan hasil yang baik dikemudian hari, meski belum diterima dalam seleksi kali ini. Berharap bisa berjumpa lagi dengan kalian suatu saat nanti. Selamat berjuang dijalan masing-masing, fantastic four!





4 komentar: